UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa dalam upaya mengamankan
penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan
yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat
menciptakan kepastian hukum serta transparansi perlu dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan;
- bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan
Undang-Undang:
- Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3459);
- Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3567);
- Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3985);
diubah
sebagai berikut:
- Ketentuan Pasal 1 substansi
tetap dan Penjelasannya diubah sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah
sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1
Undang-Undang ini.
- Ketentuan Pasal 2 ayat (1)
sampai dengan ayat (5) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 2
(1)
|
Yang menjadi subjek pajak adalah:
a.
|
- orang
pribadi;
- warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
|
b.
|
badan; dan
|
c.
|
bentuk usaha tetap.
|
|
(1a)
|
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang
perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
|
(2)
|
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri.
|
(3)
|
Subjek pajak dalam negeri adalah:
- orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia;
- badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
- pembentukannya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- pembiayaannya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
- penerimaannya
dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
- pembukuannya
diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
- warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
|
(4)
|
Subjek pajak luar negeri adalah:
- orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
dan
- orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
|
(5)
|
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
- tempat
kedudukan manajemen;
- cabang
perusahaan;
- kantor
perwakilan;
- gedung
kantor;
- pabrik;
- bengkel;
- gudang;
- ruang
untuk promosi dan penjualan;
- pertambangan
dan penggalian sumber alam;
- wilayah
kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
- perikanan,
peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
- proyek
konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
- pemberian
jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan;
- orang
atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
- agen
atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung
risiko di Indonesia; dan
- komputer,
agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
|
(6)
|
Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang
sebenarnya.
|
- Ketentuan Pasal 3 diubah dan
ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1)
|
Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
- kantor
perwakilan negara asing;
- pejabat-pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
- organisasi-organisasi
internasional dengan syarat:
- Indonesia
menjadi anggota organisasi tersebut;dan
- tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota;
- pejabat-pejabat
perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha,
kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
|
(2)
|
Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
|
- Ketentuan Pasal 4 ayat (1)
huruf d, huruf e, huruf h, huruf l, dan Penjelasan huruf k diubah dan
ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2)
diubah, ayat (3) huruf a, huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah,
huruf j dihapus, dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l, huruf m, dan
huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1)
|
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
- Penggantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
- hadiah
dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
- laba
usaha;
- keuntungan
karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
- keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
- keuntungan
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
- keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk
apa pun;
- keuntungan
karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
dan
- keuntungan
karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan;
- penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
- bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
- dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
- royalti
atau imbalan atas penggunaan hak;
- sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
- penerimaan
atau perolehan pembayaran berkala;
- keuntungan
karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
- keuntungan
selisih kurs mata uang asing;
- selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva;
- premi
asuransi;
- iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
- tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
- penghasilan
dari usaha berbasis syariah;
- imbalan
bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
- surplus
Bank Indonesia.
|
(2)
|
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak
bersifat final:
- penghasilan
berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
- penghasilan
berupa hadiah undian;
- penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
- penghasilan
dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan
- penghasilan
tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
|
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a.
|
- bantuan
atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah; dan
- harta
hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
|
b.
|
warisan;
|
c.
|
harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
|
d.
|
penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
|
e.
|
pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang
pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
|
f.
|
dividen atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
- dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
- bagi
perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor;
|
g.
|
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh
pemberi kerja maupun pegawai;
|
h.
|
penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana
pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
|
i.
|
bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota
dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;
|
j.
|
dihapus;
|
k.
|
penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat
badan pasangan usaha tersebut:
- merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
- sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
|
l.
|
beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
|
m.
|
sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian
dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling
lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
|
n.
|
bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
- Ketentuan Pasal 6 ayat (1)
huruf a, huruf e, huruf g, dan huruf h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf,
yakni huruf i sampai dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal
6 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 6
(1)
|
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto
dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk:
- biaya
yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
- biaya
pembelian bahan;
- biaya
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
- bunga,
sewa, dan royalti;
- biaya
perjalanan;
- biaya
pengolahan limbah;
- premi
asuransi;
- biaya
promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
- biaya
administrasi; dan
- pajak
kecuali Pajak Penghasilan;
- penyusutan
atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dan Pasal 11A;
- iuran
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
- kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
- kerugian
selisih kurs mata uang asing;
- biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
- biaya
beasiswa, magang, dan pelatihan;
- piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
- telah
dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
- Wajib
Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
- telah
diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa
utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
- syarat
sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
- sumbangan
dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah;
- sumbangan
dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
- biaya
pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
- sumbangan
fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
- sumbangan
dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
|
(2)
|
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
|
(3)
|
Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam
negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7.
|
- Ketentuan Pasal 7 diubah
sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1)
|
Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan
paling sedikit sebesar:
- Rp15.840.000,00
(lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib
Pajak orang pribadi;
- Rp1.320.000,00
(satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak
yang kawin;
- Rp15.840.000,00
(lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk
seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
- Rp1.320.000,00
(satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.
|
(2)
|
Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun
pajak.
|
(3)
|
Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
|
- Ketentuan Pasal 8 ayat (2)
sampai dengan ayat (4) dan Penjelasan ayat (1) diubah sehingga Pasal 8
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1)
|
Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang
telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu
pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai
penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata
diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
|
(2)
|
Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara
terpisah apabila:
- suami-isteri
telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
- dikehendaki
secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan; atau
- dikehendaki
oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.
|
(3)
|
Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan
penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh
masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan
neto mereka.
|
(4)
|
Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan
penghasilan orang tuanya.
|
- Ketentuan Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf e, dan huruf g serta Penjelasan huruf f diubah sehingga
Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1)
|
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
- pembagian
laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
- biaya
yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
- pembentukan
atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
- cadangan
piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
- cadangan
untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
- cadangan
penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
- cadangan
biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
- cadangan
biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
- cadangan
biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri
untuk usaha pengolahan limbah industri,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
- premi
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
- penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
- jumlah
yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;
- harta
yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf
m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah;
- Pajak
Penghasilan;
- biaya
yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya;
- gaji
yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
- sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
|
(2)
|
Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui
penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal
11A.
|
- Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan
ayat (11) serta Penjelasan ayat (1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga
Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1)
|
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian,
pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali
tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak
pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan
bagi harta tersebut.
|
(2)
|
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan
dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa
manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara
taat asas.
|
(3)
|
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan,
penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
|
(4)
|
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib
Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada
bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
|
(5)
|
Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali
aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar
penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva
tersebut.
|
(6)
|
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif
penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Berwujud
|
Masa
Manfaat
|
Tarif Penyusutan sebagaimana
dimaksud dalam
|
Ayat (1)
|
Ayat (2)
|
I.
Bukan bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
|
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20
tahun
|
25%
12,5%
6,25%
5%
|
50%
25%
12,5%
10%
|
II.
Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
|
20 tahun
10
tahun
|
5%
10%
|
|
|
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas
harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(8)
|
Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta
karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang
diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya
penarikan harta tersebut.
|
(9)
|
Apabila hasil penggantian asuransi yang akan
diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka
dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian
tersebut.
|
(10)
|
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang
berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
|
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta
berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
- Ketentuan Pasal 11A ayat (1)
dan Penjelasan ayat (5) diubah serta di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 11A
(1)
|
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta
tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama
besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut
atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus
dengan syarat dilakukan secara taat asas.
|
(1a)
|
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif
amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Tak Berwujud
|
Masa Manfaat
|
Tarif Amortisasi berdasarkan
metode
|
Garis
Lurus
|
Saldo
Menurun
|
Kelompok
1
Kelompok
2
Kelompok
3
Kelompok
4
|
4
tahun
8
tahun
16 tahun
20
tahun
|
25%
12,5%
6,25%
5%
|
50%
25%
12,5%
10%
|
|
(3)
|
Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya
perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran
atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
|
(4)
|
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di
bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi.
|
(5)
|
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan
hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan
produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
|
(6)
|
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan
kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
|
(7)
|
Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau
hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka
nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan
jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun
terjadinya pengalihan tersebut.
|
(8)
|
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang
berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak
boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
|
- Ketentuan Pasal 14 ayat (2),
ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga
Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1)
|
Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan
penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun
kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
pajak yang bersangkutan.
|
(3)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
|
(4)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
|
(5)
|
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau
bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara
lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(6)
|
Dihapus.
|
(7)
|
Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
- Ketentuan Pasal 16 ayat (1)
sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 16
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1)
|
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif
bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf
g.
|
(2)
|
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan
menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk
Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
|
(3)
|
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan
memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
|
(4)
|
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan
neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
|
- Ketentuan Pasal 17 ayat (1)
sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (5) sampai dengan ayat (7)
diubah serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat,
yakni ayat (2a) sampai dengan ayat (2d) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1)
|
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak bagi:
- Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)
|
5%
(lima persen)
|
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
|
15%
(lima belas persen)
|
di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
|
25%
(dua puluh lima
persen)
|
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
|
30%
(tiga puluh persen)
|
-
- Wajib
Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua
puluh delapan persen).
|
(2)
|
Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
(2a)
|
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak
2010.
|
(2b)
|
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk
perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima
persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
|
(2c)
|
Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen
yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
|
(2d)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
(3)
|
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
|
(4)
|
Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah
dalam ribuan rupiah penuh.
|
(5)
|
Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian
tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan
pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
|
(6)
|
Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
|
(7)
|
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif
pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada
ayat (1).
|
- Ketentuan Pasal 18 ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan ayat (1) diubah serta di antara ayat
(3a) dan ayat (4) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan
ayat (3e) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 18
(1)
|
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan
mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk
keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
|
(2)
|
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha
di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan
ketentuan sebagai berikut:
- besarnya
penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50%
(lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
- secara
bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang
disetor.
|
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai
modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
|
(3a)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak
negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama
suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan
renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
|
(3b)
|
Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau
aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud
demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang
sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang
bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan
tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
|
(3c)
|
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
(conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat
kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country)
yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
|
(3d)
|
Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa
dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan
seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan
kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tersebut.
|
(3e)
|
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
(4)
|
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1)
dianggap ada apabila:
- Wajib
Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan
antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua
Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
- Wajib
Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
- terdapat
hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
|
(5)
|
Dihapus.
|
- Ketentuan Pasal 19 ayat (2)
diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1)
|
Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan
tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi
ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena
perkembangan harga.
|
(2)
|
Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan
Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
|
- Ketentuan Pasal 21 ayat (1)
sampai dengan ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta di antara ayat (5) dan
ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1)
|
Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib
dilakukan oleh:
- pemberi
kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh
pegawai atau bukan pegawai;
- bendahara
pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
- dana
pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran
lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
- badan
yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
dan
- penyelenggara
kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu
kegiatan.
|
(2)
|
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib
melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
|
(3)
|
Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang
dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah
dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
|
(4)
|
Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai
tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto
setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang
besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(5)
|
Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
|
(5a)
|
Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
(6)
|
Dihapus.
|
(7)
|
Dihapus.
|
(8)
|
Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan
pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
- Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan
ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga
Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1)
|
Menteri Keuangan dapat menetapkan:
- bendahara
pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas
penyerahan barang;
- badan-badan
tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
- Wajib
Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.
|
(2)
|
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria,
sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
- Ketentuan Pasal 23 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (4) huruf c diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g
dihapus dan ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat
(1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal
23 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1)
|
Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
- sebesar
15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
- dividen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
- bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
- royalti;
dan
- hadiah,
penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
- dihapus;
- sebesar
2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
- sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
dan
- imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
|
(1a)
|
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen)
daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
|
(4)
|
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilakukan atas:
- penghasilan
yang dibayar atau terutang kepada bank;
- sewa
yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi;
- dividen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
- dihapus;
- bagian
laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
- sisa
hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
- dihapus;
dan
- penghasilan
yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
- Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan
ayat (6) diubah sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1)
|
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
|
(2)
|
Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang
berdasarkan Undang-undang ini.
|
(3)
|
Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh
dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:
- penghasilan
dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham
dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham
atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
- penghasilan
berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti,
atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
- penghasilan
berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara
tempat harta tersebut terletak;
- penghasilan
berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah
negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
- penghasilan
bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
- penghasilan
dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut
serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
- keuntungan
karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada;
dan
- keuntungan
karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha
tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
|
(4)
|
Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan
prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
|
(5)
|
Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang
terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada
tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
|
(6)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak
atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
- Ketentuan Pasal 25 ayat (1),
ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diubah, ayat (9)
dihapus, serta di antara ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (8a) sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1)
|
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
- Pajak
Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal
23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22; dan
- Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.
|
(2)
|
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan
terakhir tahun pajak yang lalu.
|
(3)
|
Dihapus.
|
(4)
|
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat
ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung
kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
|
(5)
|
Dihapus.
|
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan
penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal
tertentu, sebagai berikut:
- Wajib
Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
- Wajib
Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
- Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan
setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
- Wajib
Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
- Wajib
Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan
sebelum pembetulan; dan
- terjadi
perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
|
(7)
|
Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya
angsuran pajak bagi:
- Wajib
Pajak baru;
- bank,
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk
bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
- Wajib
Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75%
(nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.
|
(8)
|
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun
yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
(8a)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku
sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.
|
(9)
|
Dihapus.
|
- Ketentuan Pasal 26 ayat (1)
diubah dan ditambah 2 (dua) huruf, yakni huruf g dan huruf h, ayat (2)
sampai dengan ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan
1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat (3)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 26
(1)
|
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
- dividen;
- bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
- royalti,
sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
- imbalan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
- hadiah
dan penghargaan;
- pensiun
dan pembayaran berkala lainnya;
- premi
swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
- keuntungan
karena pembebasan utang.
|
(1a)
|
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya
menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
|
(2)
|
Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan
harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
|
(2a)
|
Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar
20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
|
(3)
|
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(4)
|
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh
persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
(5)
|
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
- pemotongan
atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c; dan
- pemotongan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap.
|
- Ketentuan Pasal 29 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Apabila
pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada
kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan
pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
- Ketentuan Pasal 31A diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A
(1)
|
Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan
dalam bentuk:
- pengurangan
penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
penanaman yang dilakukan;
- penyusutan
dan amortisasi yang dipercepat;
- kompensasi
kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun;
dan
- pengenaan
Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian
perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam
skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
- Pasal 31B dihapus.
- Ketentuan Pasal 31C ayat (2)
dihapus sehingga Pasal 31C berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31C
(1)
|
Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang
pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh
pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk
Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
|
(2)
|
Dihapus.
|
- Di antara Pasal 31C dan Pasal
32 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31D
Ketentuan
mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang
usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang
usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31E
(1)
|
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran
bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai
dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
|
(2)
|
Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
- Ketentuan Pasal 32 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Tata cara
pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang
ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
- Di antara Pasal 32A dan Pasal
33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32B
Ketentuan
mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto Obligasi Negara yang
diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik
dengan negara lain tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Ketentuan Pasal 35 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Hal-hal yang
belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal II
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku:
- Wajib Pajak yang tahun bukunya
berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya
berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
- Wajib Pajak yang tahun bukunya
berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya
berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
ini.
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal
23 September 2008
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal
23 September 2008
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
- UMUM
1.
|
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang
mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya
tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan
kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran
serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
|
2.
|
Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai
hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang
dipandang perlu untuk dilakukan perubahan Undang-Undang tersebut guna
meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan
pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.
|
3.
|
Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud
tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal,
yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan
optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self
assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang
Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut:
- lebih
meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
- lebih
memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
- lebih
memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
- lebih
memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
- lebih
menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing
dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing
maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan
daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
|
4.
|
Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan
penyempurnaan tersebut perlu dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan meliputi pokok-pokok sebagai
berikut:
- dalam
rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan
subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan
pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya;
- dalam
rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain, mengedepankan
prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan
dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang
berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan yang meliputi penurunan
tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan
lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih
proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut; dan
- untuk
lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment
tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada
sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan
agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan
perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa
peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk
menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang
makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar
dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.
|
- PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Undang-Undang
ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak
tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek
pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang ini
disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk
penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya
dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Yang
dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah tahun kalender,
tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas)
bulan.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Orang
pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli
waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti
dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut
tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa
memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan
Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
Dalam
pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau
ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Subjek pajak
dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat
didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik
orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang
pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang
pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan
yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai
pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas
penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai
pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak
luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak
sepadan; dan
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk
menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak
luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang
bersifat final.
Bagi Wajib
Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada
prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam
pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Apakah
seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut
keadaan.
Keberadaan
orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang
tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Warisan yang
belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri
dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang ini
mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban
perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak.
Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada
ahli waris.
Warisan yang
belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar
negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti
karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan
huruf b
Subjek pajak
luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau
bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha
tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar
negeri.
Apabila
penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap
orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap.
Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar
negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi
atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau
diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan
langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk
usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business)
yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin,
peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis
(automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha
tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian
bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau
badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau
perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut
dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya
sendiri.
Perusahaan
asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut
menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui
pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia
tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di
Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat
tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan
tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk
menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya
tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut
keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat
kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi
lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat
tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili,
alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok
atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan
pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Sesuai
dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta
pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya,
dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian
sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka
memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara
Indonesia.
Dengan
demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan
lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk
subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-Undang
ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas,
yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian
penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari
sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran
terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul
biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari
mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:
i.
penghasilan
dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium,
penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya;
ii.
penghasilan
dari usaha dan kegiatan;
iii.
penghasilan
dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga,
dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
iv.
penghasilan
lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari
penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena
Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan
untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu
tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali
kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis
penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan
dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan
penghasilan lain yang dikenai tarif umum.
Contoh-contoh
penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas
pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh
dimaksud.
Huruf a
Semua
pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi
asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau
imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian
imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada
hakikatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam
pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti
hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
Yang
dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan
kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan
benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Apabila
Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku
atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut
merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan
usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk
penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya, PT
S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai
sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut
dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian,
keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada
salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima
juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar
sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi
pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila
suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara
harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut,
merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai
sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal
terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal,
keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan
nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan
berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas
pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan
bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan
berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas
pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan,
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal
Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak
tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek
pajak.
Huruf e
Pengembalian
pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena
Pajak merupakan objek pajak.
Sebagai
contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai
biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian
tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam
pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang.
Premium
terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya
sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai
nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan
obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen
merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota
koperasi.
Termasuk
dalam pengertian dividen adalah:
1)
|
pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak
langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
|
2)
|
pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi
jumlah modal yang disetor;
|
3)
|
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa
penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
|
4)
|
pembagian laba dalam bentuk saham;
|
5)
|
pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa
penyetoran;
|
6)
|
jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang
diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham
oleh perseroan yang bersangkutan;
|
7)
|
pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari
modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh
keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan
modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
|
8)
|
pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba,
termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
|
9)
|
bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
|
10)
|
bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
|
11)
|
pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota
koperasi;
|
12)
|
pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi
pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
|
Dalam
praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung,
misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan
memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi
kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga
yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai
dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Royalti
adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan
apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak
cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau
model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi
di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau
pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut
pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut
pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3,
berupa:
a)
|
penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau
rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
|
b)
|
penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau
rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
yang serupa;
|
c)
|
penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau
seluruh spektrum radio komunikasi;
|
5. penggunaan atau hak menggunakan film
gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran
televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian
hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf i
Dalam
pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak
gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan
berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan
seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan
utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai
biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan
utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra),
Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan
sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu
dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf l
Keuntungan
yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf m
Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam
pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Tambahan
kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah
dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak.
Apabila
diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan
neto tersebut merupakan penghasilan.
Huruf q
Kegiatan
usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan
usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek
pajak menurut Undang-Undang ini.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai
dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
antara lain:
-
|
perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan
investasi dan tabungan masyarakat;
|
-
|
kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
|
-
|
berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib
Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
|
-
|
pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
|
-
|
memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
|
atas
penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam
pengenaan pajaknya.
Perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk
sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau
pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Obligasi sebagaimana
dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua
belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan.
Surat Utang
Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat
Perbendaharaan Negara.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau
sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang
diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui
di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak
diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan “zakat”
adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
zakat.
Hubungan
usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A
sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT
B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan
baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
Harta
hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima
oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan
keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka
hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada
prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan
tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut
diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan
ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak.
Huruf d
Penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam
bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula,
dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil,
rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak.
Apabila yang
memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak
yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed
profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya,
seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik
asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang
disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut
sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian
atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini
selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi
asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya
tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan
ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak
dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan
di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen),
tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik negara” dan
“badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara lain, adalah perusahaan
perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah.
Perlu
ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak
selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri
maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis
dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap
merupakan objek pajak.
Huruf g
Pengecualian
sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun
yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun,
baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya
iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta
pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan
pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh
karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf h
Sebagaimana
tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan
ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah
penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk
pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta
pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan
pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi.
Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk
kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan
ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu
kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang
diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang
dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk
penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.
Berdasarkan
ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan
pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan
pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila
pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura bukan merupakan objek pajak.
Agar
kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan
ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk
meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan
usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat
perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk
penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal
ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke
bursa efek.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Bahwa dalam
rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana
yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa
pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang
sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan
sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud
harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa
lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk
menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan
yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta
penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa
saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
Huruf n
Bantuan atau
santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada
Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib
Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana
alam atau tertimpa musibah.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua)
golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1
(satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang
mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada
tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya
rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui
penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun
pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs,
kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya
yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh
dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat
dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai
hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek
pajak.
Dengan
demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai
biaya.
Contoh:
Dana Pensiun
A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh
penghasilan bruto yang terdiri dari:
a.
|
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai
dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h
|
Rp100.000.000,00
|
b.
|
penghasilan bruto lainnya sebesar
|
Rp300.000.000,00
(+)
|
|
Jumlah penghasilan bruto
|
Rp400.000.000,00
|
Apabila
seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), biaya
yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00.
Demikian
pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan
objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f.
Bunga
pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai
penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran
yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan
pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk
keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan
pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran
premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan
sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut
merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaransehubungan
dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan
dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau
kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan
merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan
tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan
sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan
penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas
yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian,
apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya
lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta
penjelasannya.
Pajak-pajak
yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan,
misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan
Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai
pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan.
Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Besarnya
biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan
bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan
melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya
lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta
penjelasannya.
Pengeluaran
yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk
beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui
alokasi.
Huruf c
Iuran kepada
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh
dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun
yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak
dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan
dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Huruf e
Kerugian
karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang
dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku di Indonesia.
Huruf f
Biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah
yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan
perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka
peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat
dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar,
mahasiswa, dan pihak lain.
Huruf h
Piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib
Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan
telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang
dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional,
melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara
pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika
pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1)
setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun
berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.
Contoh :
PT A dalam
tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar
dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A
sebagai berikut :
2010 : laba
fiskal Rp200.000.000,00
2011 : rugi
fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba
fiskal Rp N I H I L
2013 : laba
fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba
fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi
kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp1.200.000.000,00)
|
Laba fiskal tahun 2010
|
Rp
200.000.000,00 (+)
|
Sisa rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp1.000.000.000,00)
|
Rugi fiskal tahun 2011
|
(Rp
300.000.000,00)
|
Sisa rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp1.000.000.000,00)
|
Laba fiskal tahun 2012
|
Rp
N I H I L (+)
|
Sisa rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp1.000.000.000,00)
|
Laba fiskal tahun 2013
|
Rp
100.000.000,00 (+)
|
Sisa rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp
900.000.000,00)
|
Laba fiskal tahun 2014
|
Rp
800.000.000,00 (+)
|
Sisa rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp
100.000.000,00)
|
Rugi fiskal
tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba
fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun
2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun
2012 berakhir pada akhir tahun 2016.
Ayat (3)
Dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri,
kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 6
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib
Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan
penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas
juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah).
Wajib Pajak
yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus
yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung,
atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling
banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan
dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak
A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila
isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 21.120.000,00
{Rp15.840.000,00 + Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk
isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja
diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000,00. Apabila
penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar
Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal
bagian tahun pajak.
Misalnya, pada
tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu)
orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009,
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk
tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan
ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan
mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga
kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 7
Pasal 8
Sistem
pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu
kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota
keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan
kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam
hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan
atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal
bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan
dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan
dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang
telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
a. penghasilan isteri tersebut
semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
b. penghasilan isteri tersebut berasal
dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak
A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan
neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila
penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah
dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar
Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A
dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila
selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 +
Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan
penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar
Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00).
Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan
ayat (3)
Dalam hal suami-isteri
telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami isteri
mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika
isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto
suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya
penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan
pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara
tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.
Dari contoh
pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan
pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya,
pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar
Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka
untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai
berikut:
-
|
Suami: 100.000.000,00 x Rp27.550.000,00
250.000.000,00
|
=
Rp11.020.000,00
|
-
|
Isteri : 150.000.000,00 x Rp27.550.000,00
250.000.000,00
|
=
Rp16.530.000,00
|
Ayat (4)
Penghasilan
anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat
pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang
sama.
Yang
dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila
seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau
memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah
atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.
Angka 8
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran
yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan
yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada
prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya
yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek
pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama
masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian
penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian
laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada
pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan
pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba
tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai
pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Huruf b
Tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan,
biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi
para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Premi untuk
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud
menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan
Objek Pajak.
Apabila
premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi
pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi
pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana
telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek
pajak.
Selaras
dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud
dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi
pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
1. penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk
mendorong pembangunan di daerah terpencil;
2. pemberian natura dan kenikmatan yang
merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan
kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan
peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam),
antar jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya;
dan
3. pemberian atau penyediaan makanan
dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
Huruf f
Dalam
hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan
kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan
kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya,
seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan
jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
Apabila
untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya
dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang
dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak
Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk
keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada
hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan.
Huruf j
Anggota
firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai
gaji.
Dengan
demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran
yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai
dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan
untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun
lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan.
Sejalan
dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam
ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat
dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran,
melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 9
Pasal 11
Ayat (1) dan
ayat (2)
Pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat
harta berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh
tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha,
dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah
tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh
penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya
untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan
genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.
Yang
dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya perolehan tanah berstatus
hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan
pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya,
sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai
diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode
penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
a. dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus
atau straight-line method); atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun
dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo
menurun atau declining balance method).
Penggunaan
metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas.
Untuk harta
berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus.
Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau
metode saldo menurun.
Dalam hal
Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada
akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai
dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau
sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh
penggunaan metode garis lurus:
Sebuah
gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan masa
manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar
Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).
Contoh
penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin
yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan
sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat dari
mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya
ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai
berikut.
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisa Buku
|
Harga
Perolehan
150.000.000,00
|
2009
|
50%
|
75.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010
|
50%
|
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011
|
50%
|
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012
|
Disusutkan sekaligus
|
18.750.000,00
|
0
|
Ayat (3)
Penyusutan
dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan selesainya
pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara
pro-rata.
Contoh 1:
Pengeluaran
untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009 dan selesai untuk
digunakan pada bulan Maret 2010. Penyusutan atas harga perolehan bangunan
gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010.
Contoh 2:
Sebuah mesin
yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah
4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh
persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisa Buku
|
Harga
Perolehan
100.000.000,00
|
2009
|
6/12 x 50%
|
25.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010
|
50%
|
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011
|
50%
|
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012
|
50%
|
9.375.000,00
|
9.375.000,00
|
2013
|
Disusutkan sekaligus
|
9.375.000,00
|
0
|
Ayat (4)
Berdasarkan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan
pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai
menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan
tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh:
PT X yang
bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009. Perkebunan
tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai
tahun 2010.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk
memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas
pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta
dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang
dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan yang bersifat
sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat
dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun,
misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka
menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti
perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan pengaturan
tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam bidang-bidang
usaha tertentu tersebut yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan
ayat (9)
Pada
dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam
tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila
harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta
tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan
berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan
sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya
penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan
sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal
penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti
pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur
Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam
tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta
berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh
pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka
memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri
Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam
setiap kelompok dan masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.
Angka 10
Pasal 11A
Ayat (1)
Harga
perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah
(goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi
dengan metode:
a. dalam bagian-bagian yang sama setiap
tahun selama masa manfaat; atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun
setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk
amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir
masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut
diamortisasi sekaligus.
Ayat (1a)
Amortisasi
dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun
pertama dihitung secara prorata.
Dalam rangka
menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu perlu diberikan
pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (2)
Penentuan
masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud
dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan
amortisasi.
Wajib Pajak
dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta
tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa
manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud
yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada,
maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak
berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan
kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa
manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut
diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Metode
satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang
besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi
penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran
jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat
diproduksi.
Apabila
ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan,
sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran
lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran
untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan
hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak
pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan
jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran
untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000
(sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam
tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah
produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh
persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun
tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia,
besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto
pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ayat (6)
Dalam
pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah
biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi
kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya
operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik
dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin
ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun
pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X
mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di
suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di
daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah
produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X
menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar
Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak
tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan
|
Rp
500.000.000,00
|
Amortisasi yang telah dilakukan:
|
|
100.000.000/200.000.000 barel (50%)
|
Rp
250.000.000,00
|
Nilai buku harta
|
Rp
250.000.000,00
|
Harga jual harta
|
Rp
300.000.000,00
|
Dengan
demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 14
Informasi
yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk
dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis
Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus
menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu
menyelenggarakan pembukuan.
Semua Wajib
Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas
dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan
pembukuan.
Untuk
memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib
Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
penghitungan.
Ayat (1)
Norma
Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan
yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran
bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma
Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data
lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma
Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan
pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2)
Norma
Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya kurang dari jumlah Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
tersebut, Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Wajib Pajak
orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut
wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
Pencatatan
tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung
penghasilan neto.
Ayat (4)
Apabila
Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak
yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a. tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau
b. tidak bersedia memperlihatkan
pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan
pemeriksaan
sehingga
mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak
diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan
cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Menteri
Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat
Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Angka 12
Pasal 16
Penghasilan
Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak
Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-Undang ini dikenal dua golongan Wajib
Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib
Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan
dengan menggunakan Norma Penghitungan.
Di samping
itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus,
yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib
Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:
1. Wajib Pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia; dan
2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ayat (1)
Bagi Wajib
Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya
dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai
berikut.
-
|
Peredaran bruto
|
|
Rp6.000.000.000,00
|
-
|
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan
|
|
Rp5.400.000.000,00(-)
|
-
|
Laba usaha (penghasilan neto usaha)
|
Rp
600.000.000,00
|
-
|
Penghasilan lainnya
|
Rp50.000.000,00
|
|
-
|
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya tersebut
|
Rp30.000.000,00(-)
|
|
|
|
|
Rp
20.000.000,00(+)
|
-
|
Jumlah seluruh penghasilan neto
|
|
Rp
620.000.000,00
|
-
|
Kompensasi kerugian
|
|
Rp
10.000.000,00(-)
|
-
|
Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak badan)
|
|
Rp
610.000.000,00
|
-
|
Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 2 anak)
|
|
Rp
19.800.000,00(-)
|
-
|
Penghasilan Kena Pajak
|
|
|
|
(bagi Wajib Pajak orang pribadi)
|
|
Rp
590.200. 000,00
|
Ayat (2)
Bagi Wajib
Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan,
Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut.
-
|
Peredaran bruto
|
Rp
4.000.000.000,00
|
-
|
Penghasilan neto (menurut Norma
Penghitungan) misalnya 20%
|
Rp
800.000.000,00
|
-
|
Penghasilan neto lainnya
|
Rp
5.000.000,00 (+)
|
-
|
Jumlah seluruh penghasilan neto
|
Rp
805.000.000,00
|
-
|
Penghasilan Tidak Kena Pajak
(isteri + 3 anak)
|
Rp
21.120.000,00 (-)
|
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp
783.880.000,00
|
Ayat (3)
Bagi Wajib
Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya
pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk
menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara
penghitungan biasa.
Contoh:
-
|
Peredaran bruto
|
|
Rp10.000.000.000,00
|
-
|
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan
|
|
Rp
8.000.000.000,00(-)
|
|
|
|
Rp
2.000.000.000,00
|
-
|
Penghasilan bunga
|
|
Rp
50.000.000,00
|
-
|
Penjualan langsung barang yang sejenis dengan barang
yang dijual bentuk usaha tetap oleh kantor pusat
|
Rp
2.000.000.000,00
|
|
-
|
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan
|
Rp1.500.000.000,00(-)
|
|
|
|
|
Rp
500.000.000,00
|
|
Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat
yang mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap
|
|
Rp1.000.000.000,00(+)
|
|
|
|
Rp3.550.000.000,00
|
-
|
Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3)
|
Rp
450.000.000,00(-)
|
-
|
Penghasilan Kena Pajak
|
|
Rp3.100.000.000,00
|
Ayat (4)
Contoh:
Orang
pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak
dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh
penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka
penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut.
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan
|
Rp
150.000.000,00
|
Penghasilan setahun sebesar:
|
|
(360 : (3x30)) x Rp150.000.000,00
|
Rp
600.000.000,00
|
Penghasilan Tidak Kena Pajak
|
Rp
15.840.000,00(-)
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp
584.160.000,00
|
Angka 13
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh
penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah
Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00.
Pajak
Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000,00
|
= Rp
2.500.000,00
|
15% x Rp200.000.000,00
|
= Rp
30.000.000,00
|
25% x Rp250.000.000,00
|
= Rp
62.500.000,00
|
30% x Rp100.000.000,00
|
= Rp
30.000.000,00 (+)
|
|
Rp125.000.000,00
|
Huruf b
Contoh
penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan
bentuk usaha tetap:
Jumlah
Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00
Pajak
Penghasilan yang terutang:
28% x
Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00
Ayat (2)
Perubahan
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan secara nasional
dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum
tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka penyusunan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (2c)
Cukup jelas.
Ayat (2d)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Besarnya
lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat
inflasi, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah
menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan
ayat (6)
Contoh:
Penghasilan
Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)):
Rp 584.160.000,00
Pajak
Penghasilan setahun:
5% x Rp 50.000.000,00
|
= Rp
2.500.000,00
|
15% x Rp 200.000.000,00
|
= Rp
30.000.000,00
|
25% x Rp 250.000.000,00
|
= Rp
62.500.000,00
|
30% x Rp 84.160.000,00
|
= Rp
25.248.000,00 (+)
|
|
Rp 120.248.000,00
|
Pajak
Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
((3 x 30) :
360) x Rp120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00
Ayat (7)
Ketentuan
pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak
tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari
tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak
tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan
pemerataan dalam pengenaan pajak.
Angka 14
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-Undang
ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang
besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk
keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan
tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt
to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar
melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan
tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak,
Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Istilah
modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar
akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha”
adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan makin
berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era
globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di
luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap
penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya
dividen.
Contoh:
PT A dan PT
B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat
kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa
efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal
demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan
dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud
diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak
yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan
istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari
semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal
demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para
Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali
jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode
harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus
method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split
method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method).
Demikian
pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan
penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut
dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal
dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan
demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai
penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi
pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai
dividen yang dikenai pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan
harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib
Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang
dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related
parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya
praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional.
Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat
mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan
jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA
selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus
tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual
Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat
unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan
Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan
otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di
wilayah yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang
melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam
negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan
tersebut (special purpose company).
Ayat (3c)
Contoh:
X Ltd. yang
didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan
perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima
persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd.
ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan
dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan
sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.
Apabila Y
Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang merupakan
Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas merupakan
pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri.
Namun, pada
hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan (saham) perseroan
Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri sehingga atas penghasilan
dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hubungan
istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
atau
b. adanya penguasaan melalui manajemen
atau penggunaan teknologi.
Selain
karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi
dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Huruf a
Hubungan
istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa
penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung
ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT
A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A
merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya,
apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai
pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C
sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan
PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua
puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat
hubungan istimewa.
Hubungan
kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan
istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan
kepemilikan.
Hubungan
istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah
penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang
berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara.
Yang
dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat”
adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis
keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 19
Ayat (1)
Adanya
perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter
dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat
mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar.
Dalam
keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang
penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan
penghasilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan
ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak
yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi
kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun badan
yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar
atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan
nama apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam
pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak
dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.
Yang
dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan nama apa pun selain
gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus,
gratifikasi, dan tantiem.
Yang
dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak
tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi
kerja.
Huruf b
Bendahara
pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi
atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan,
honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan.
Yang
termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain
yang menjalankan fungsi yang sama.
Huruf c
Yang
termasuk “badan lain”, misalnya, adalah badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari
tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apa pun.
Yang
termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain adalah
tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak yang
dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan penerima
tabungan hari tua.
Huruf d
Yang
termasuk dalam pengertian badan adalah organisasi internasional yang tidak
dikecualikan berdasarkan ayat (2).
Yang
termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter, pengacara, dan
akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya
sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara
kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam
bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatan
termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi
internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan, misalnya kegiatan
olahraga, keagamaan, dan kesenian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi pegawai
tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua
atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi
pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan
bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam
pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan
hari tua.
Ayat (4)
Besarnya
penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai
tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian
penghasilan yang tidak dikenai pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (5a)
Kepemilikan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain,
dengan cara menunjukkan kartu NPWP.
Contoh:
Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00
Pajak
Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
5% x Rp50.000.000,00
|
=
Rp2.500.000,00
|
15% x Rp25.000.000,00
|
=
Rp3.750.000,00 (+)
|
Jumlah
|
Rp6.250.000,00
|
Pajak
Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:
5% x 120% x Rp50.000.000,00
|
=
Rp3.000.000,00
|
15% x 120% x Rp25.000.000,00
|
=
Rp4.500.000,00 (+)
|
Jumlah
|
Rp7.500.000,00
|
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 22
Ayat (1)
Berdasarkan
ketentuan ini, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah:
-
|
bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga
negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk
juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang
menjalankan fungsi yang sama;
|
-
|
badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun
swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain
otomotif dan semen; dan
|
-
|
Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari
pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak
oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang
yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah
baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar,
rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan
sangat mewah.
|
Dalam
pelaksanaan ketentuan ini Menteri Keuangan mempertimbangkan, antara lain:
-
|
penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi
pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
|
-
|
tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
|
-
|
prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah
dilaksanakan.
|
Pemungutan
pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk
tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini
dapat bersifat final.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kepemilikan
Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan
cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Angka 18
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Kepemilikan
Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan
cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 24
Pada
dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan,
termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk
meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur
tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh:
PT A di
Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc.
tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00. Pajak
Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.
Penghitungan
pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Keuntungan Z Inc
|
US$
100,000.00
|
Pajak Penghasilan (Corporate income tax)
|
|
atas Z Inc.: (48%)
|
US$
48,000.00 (-)
|
|
US$
52,000.00
|
Pajak atas dividen (38%)
|
US$
19,760.00 (-)
|
Dividen yang dikirim ke Indonesia
|
US$
32,240.00
|
Pajak
Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang
terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah
sebesar US$19,760.00.
Pajak
Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$48,000.00 tidak dapat
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak
sebesar US$48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan
atas keuntungan Z Inc. di negara X.
Ayat (2)
Untuk
memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang diterima atau diperoleh di
Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh
melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang ini. Cara
penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri
Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6).
Ayat (3) dan
(4)
Dalam
perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut
Undang-Undang ini, penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting.
Selanjutnya,
ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk
memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.
Mengingat
Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka sesuai dengan
ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut
pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri
memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual.
Keuntungan
yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang
bersumber di Singapura karena rumah tersebut terletak di Singapura.
Ayat (5)
Apabila
terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di
luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia
menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya
ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini.
Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas
penghasilan luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00 yang semula
telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang
untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan
pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 1996.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 25
Ketentuan
ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar
oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak
Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan
tahun 2009
dikurangi:
|
Rp
50.000.000,00
|
a.
|
Pajak Penghasilan yang dipotong
pemberi Kerja (Pasal 21)
|
Rp15.000.000,00
|
b.
|
Pajak Penghasilan yang dipungut
oleh pihak lain (Pasal 22)
|
Rp10.000.000,00
|
c.
|
Pajak Penghasilan yang dipotong
oleh pihak lain (Pasal 23)
|
Rp
2.500.000,00
|
d.
|
Kredit Pajak Penghasilan
luar negeri (Pasal 24)
|
Rp
7.500.000,00 (+)
|
|
Jumlah kredit pajak
|
Rp35.000.000,00
(-)
|
|
Selisih
|
Rp15.000.000,00
|
Besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010 adalah
sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi
masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus
dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar Rp2.500.000,00
(Rp15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi
Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan
bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya,
besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan
belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).
Berdasarkan
ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk
bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak
orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar angsuran
pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Apabila
dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak
menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan
Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib
Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009,
yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila
dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang
lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut.
Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009 yang disampaikan
Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010, perhitungan besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh
ribu rupiah). Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak
tahun pajak 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Berdasarkan
ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2010 adalah
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih
kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pada
dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam
tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan
terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini dalam
hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
dalam tahun berjalan apabila terdapat kompensasi kerugian; Wajib Pajak menerima
atau memperoleh penghasilan tidak teratur; atau terjadi perubahan keadaan usaha
atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
-
|
Penghasilan PT X tahun 2009
|
Rp
120.000.000,00
|
-
|
Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan
|
Rp
150.000.000,00
|
-
|
Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2009
|
Rp
30.000.000,00
|
Penghitungan
Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:
Penghasilan
yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 =
Rp120.000.000,00 – Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00.
Pajak
Penghasilan yang terutang:
28% x
Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00
Apabila pada
tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak
lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010 =
1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.
Contoh 2:
Dalam tahun
2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang Rp48.000.000,00
(empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak teratur sebesar
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang dipakai sebagai
dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun
2010 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan
keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau
peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun
2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah).
Dalam bulan
Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu, berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT B dapat
disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Sebaliknya,
apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan
dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada
prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan
didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu.
Namun, ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk
menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan
prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran
perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini
kegiatan usaha perusahaan.
Huruf a
Bagi Wajib
Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun
pajak berjalan perlu diatur perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib Pajak
belum pernah memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan
Wajib Pajak.
Huruf b
Bagi Wajib
Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah, serta Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala perlu diatur
perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena terdapat kewajiban menyampaikan
laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu
kepada instansi Pemerintah yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk
menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Huruf c
Bagi Wajib
Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang
mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling
tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran bruto.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (8a)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 26
Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari
Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu
pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar
negeri lainnya.
Ketentuan
ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan
pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20%
(dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis
penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
1. penghasilan yang bersumber dari
modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
2. imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, atau kegiatan;
3. hadiah dan penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apa pun;
4. pensiun dan pembayaran berkala
lainnya;
5. premi swap dan transaksi lindung
nilai lainnya; dan/atau
6. keuntungan karena pembebasan utang.
Sesuai
dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri
membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib
Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk
memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Sebagai
contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam
perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas
hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh
persen).
Ayat (1a)
Negara
domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima
penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan
tersebut (beneficial owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya
ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal
atau tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud.
Dalam hal
penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat
orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila
penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik
atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.
Ayat (2)
Ketentuan
ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari
penjualan atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi.
Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan
wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta
hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan
ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di
Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha
tetap di Indonesia dalam tahun 2009
|
Rp17.500.000.000,00
|
Pajak Penghasilan:
28% x Rp17.500.000.000,00
|
= Rp
4.900.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak
|
Rp12.600.000.000,00
|
Pajak
Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% x
Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00
Apabila
penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua belas miliar enam
ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak
dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada
prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final,
tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri
yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai
tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib
Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan
terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian
kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir
pada tanggal 31 Agustus 2009.
Jika
perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai
Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut,
status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan
Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh
PT B.
Berdasarkan
ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas
penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan
Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan
Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam
negeri.
Angka 22
Pasal 29
Ketentuan
ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang
terutang menurut ketentuan Undang-Undang ini sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan paling lambat pada batas akhir
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan tahun
kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31
Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan
setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan
tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan
pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang
pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan.
Angka 23
Pasal 31A
Ayat (1)
Salah satu
prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam Undang- Undang perpajakan adalah diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam
bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang
perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan
perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan
diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan
diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi
langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal
dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu
yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
Ketentuan
ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan
negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 31B
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 31C
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 31D
Cukup jelas.
Pasal 31E
Ayat (1)
Contoh 1:
Peredaran
bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima
ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Penghitungan
pajak yang terutang:
Seluruh
Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang
berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak
Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%)
x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh 2:
Peredaran
bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh
miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Penghitungan
Pajak Penghasilan yang terutang:
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari
bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00
: Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00
|
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari
bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000,00
– Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
|
Pajak
Penghasilan yang terutang:
-
|
(50% x 28%) x Rp480.000.000,00
|
= Rp
67.200.000,00
|
-
|
28% x Rp2.520.000.000,00
|
=
Rp705.600.000,00(+)
|
Jumlah
Pajak Penghasilan yang terutang
|
Rp 772.800.000,00
|
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 32B
Dalam rangka
memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat mengenakan tarif khusus yang
lebih rendah atau membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi Negara yang
diperdagangkan di bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat mengenakan
perlakuan khusus ini sepanjang negara lain tersebut juga memberikan perlakuan
yang sama atas obligasi negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia.
Angka 29
Pasal 35
Dengan
peraturan pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam
rangka pelaksanaan Undang-Undang ini, yaitu semua peraturan yang diperlukan
agar Undang-Undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk pula
peraturan peralihan.
Pasal II
Angka 1
Angka 2
Apabila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2009 atau
sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun
pajak 2008. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang
tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya
mulai tahun pajak 2009 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
sumber :
http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13430